Wednesday, December 30, 2009

Sumber kesalahan berbahasa Indonesia

Sumber kesalahan Berbahasa



Pernahkah terpikirkan di benak Anda mengapa murid Anda berbuat kesalahan pada waktu berbicara atau menulis? Apakah kesalahan itu disebabkan oleh strategi kognitif siswa atau disebabkan oleh gaya belajar siswa, atau mungkin disebabkan oleh variabel yang lain, misalnya, kepribadian siswa?

Pada tahap awal, Anda sebagai guru mungkin hanya dapat menebak-nebak penyebab kesalahan berbahasa siswa Anda. Untuk dapat menjawabnya dengan tepat, Anda mungkin harus mengumpulkan data kesalahan berbahasa siswa Anda, baik dari data lisan maupun dari data tertulis. Dengan data tersebut, Anda dapat mengidentifikasi sumber kesalahan berbahasa Indonesia siswa Anda. Ujungnya Anda dapat menarik simpulan tentang dugaan sementara bagaimana aspek kognitif dan afektif siswa berhubungan dengan sistem kebahasaan. Anda juga dapat merumuskan proses belajar bahasa bagi siswa, khususnya bagi mereka yang belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua.

Melacak sumber kesalahan berbahasa sebenarnya bukan tugas yang ringan. Sesungguhnya ada ratusan sumber kesalahan berbahasa. Tetapi, Anda tidak harus mengidentifikasi ratusan sumber kesalahan berbahasa tersebut karena Anda dapat merangkum sumber kesalahan berbahasa tersebut dalam garis besarnya saja. Gambaran kasar tentang sumber kesalahan berbahasa itu benar-benar merupakan faktor yang signifikan bagi guru untuk memahami sistem pembelaja-ran bahasa siswa. Artinya, dengan mengetahui gejala-gejala yang muncul dalam bentuk kesalahan berbahasa, Anda dapat menyimpulkan bagaimana sebenarnya anak-anak itu belajar bahasa (Dulay, dkk., 1982). Misalnya, Anda akan mengetahui bahwa kata-kata yang mengandung makna leksikal akan dikuasai lebih dulu oleh anak daripada kata-kata yang mempunyai makna gramatikal. Kata daripada, karena, dengan, bahwa, maka, oleh, dan sebagainya merupakan kata-kata yang mengandung makna gramatikal. Kata-kata semacam itu tidak mengandung makna leksikal. Apa makna leksikal kata-kata itu? Maknanya tidak ada. Anda ambil saja kata daripada. Apa maknanya? Kata itu hanya mempunyai makna dalam konteks gramatikal. Maknanya dalam konteks gramatikal ialah ‘untuk menyatakan perbandingan’. Kata-kata semacam itu baru memperoleh maknanya dalam proses tata bahasa. Kata-kata semacam itu ternyata sulit dikuasai oleh pembelajar bahasa. Demikian juga kata-kata yang disebut sebagai deiksis, yakni kata yang rujukannya berubah-ubah sesuai dengan pembicara dan konteksnya (Purwo, 1985), ternyata juga sulit dikuasai anak. Kata-kata semacam itu ialah saya, aku, engkau, kamu, mereka, di sini, di sana, di situ, sekarang, besok, nanti, rujukannya berubah-ubah. Ambillah sebagai contoh kata saya. Siapakah saya itu? Kata saya rujukannya berubah-ubah bergantung pada siapa yang berbicara. Jika kata itu digunakan oleh Ali, maka saya itu mengacu pada Ali. Tetapi, apabila kata itu digunakan oleh Umar, saya itu mengacu pada Umar. Kata saya dapat mengacu pada Ali, Umar, dan bahkan pada siapa saja yang menggunakan kata itu.

Berdasarkan gambaran kasar tentang sumber kesalahan berbahasa itu dapat dilihat bahwa sumber kesalahan berbahasa itu meliputi (1) transfer interlingual dan (2) transfer intralingual (cf. Brown, 1980). Berikut ini Anda akan mempelajari tiap-tiap sumber kesalahan berbahasa tersebut.

Transfer Interlingual

Tahap awal pembelajaran bahasa lazimnya ditandai oleh transfer interlingual, yakni pemindahan unsur-unsur bahasa pertama atau bahasa ibu ke dalam bahasa kedua atau bahasa yang sedang dipelajari siswa. Misalnya, murid Anda adalah seorang anak yang berbahasa ibu bahasa Jawa. Pada tahap awal pembelajaran anak itu akan tampak masuknya unsur-unsur bahasa pertamanya, yaitu bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Artinya, ketika anak itu berbicara atau menulis dalam bahasa Indonesia, akan terdapat unsur-unsur bahasa Jawa yang digunakan dalam tuturan atau tulisannya. Misalnya, pada saat berbicara, tampak dengan jelas masuknya unsur intonasi bahasa Jawa ketika anak itu berbahasa Indonesia. Bahkan mungkin juga tampak jelas masuknya unsur tata bentuk, tata kalimat, bahkan unsur leksikal bahasa pertama ke dalam bahasa Indonesia. Mengapa hal itu terjadi? Pada tahap awal itu, sebelum sistem bahasa kedua, yakni sistem bahasa Indonesia dikuasai dengan baik oleh si anak, hanya bahasa pertamalah yang ada dalam benak pembelajar. Sistem yang sudah akrab itu digunakannya untuk membantu memperlancar proses komunikasi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sumber kesalahan berbahasa anak dapat disebabkan oleh masuknya unsur-unsur bahasa pertama atau bahasa ibu ke dalam bahasa kedua, yakni bahasa Indonesia. Kesalahan berbahasa anak dapat dilacak dari bahasa pertama anak yang belajar bahasa Indonesia.

Contoh-contoh transfer dari bahasa Jawa, bahasa Batak, dan bahasa Bali berikut ini akan dapat memberikan gambaran tentang transfer interlingual tersebut.

Transfer dari Bahasa Jawa

Ayah pergi ke sawah mencari dhadhuk.

Kata dhadhuk adalah kosakata bahasa Jawa yang ditransfer ke dalam bahasa Indonesia. Anak mengalami kesulitan untuk menyebutkan kata itu dalam bahasa Indonesia karena dalam bahasa Indonesia padanan yang cocok untuk kata itu tidak ada. Lazimnya kata itu harus dikatakan sebagai daun tebu yang sudah kering. Tidak ada padanan satu lawan satu kata dhadhuk dalam bahasa Indonesia. Bandingkan, misalnya, kata klambi, pitik, manuk, dan sebagainya yang mempunyai padanan satu lawan satu dalam bahasa Indonesia, yakni baju, ayam, burung. Karena terdapat perbedaan antara kosakata bahasa Indonesia dengan kosakata bahasa Jawa tersebut, si anak cenderung memindahkan begitu saja kosakata bahasa Jawa itu ke dalam tuturan bahasa Indonesianya. Muncullah juga kata dhadhuk dalam bahasa Indonesia

Transfer dari Bahasa Batak

Yang sering terjadi transfer dari bahasa Batak itu adalah dalam ragam lisan.

Anak-anak yang berbahasa pertama bahasa Batak cenderung untuk melafalkan e lemah seperti pada /kera/ menjadi /e/ keras seperti pada kata /sate/. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila anak-anak yang berbahasa pertama bahasa Batak akan melafalkan kata-kata di bawah ini sebagai berikut.











Seharusnya huruf pada kata-kata tersebut di atas dilafalkan sebagai /e/ lemah. dan tidak sebagai /e/ keras.

Transfer dari Bahasa Bali

Dalam ragam lisan siswa dari Bali cenderung untuk mentransfer bunyi [th] Bali ke dalam bahasa Indonesia. Perhatikan anak-anak Bali melafalkan kata-kata berikut

mi.











[pasthi]

[thenthu]

[athur]

[theman]

[thelah]

Bahasa Indonesia hanya mengenal bunyi [t] dan tidak mengenal bunyi [th]. Tetapi, sebaliknya, bahasa Bali hanya mengenal bunyi [th] dan tidak mengenal bunyi [t].



Transfer Intralingual

Sumber kesalahan berbahasa dapat dilacak dari sistem bahasa kedua yang dipelajari oleh siswa. Jika siswa itu belajar bahasa Indonesia, sumber kesalahan berbahasanya dapat dilacak dari sistem atau kaidah-kaidah dalam bahasa Indonesia itu sendiri. Kaidah itu dapat meliputi kaidah tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat, kaidah leksikal, bahkan kaidah semantik. Berdasarkan hasil penelitian, tampak bahwa sumber kesalahan ini merupakan sumber kesalahan terbesar. Bahasa pertama atau bahasa ibu yang sering dituduh sebagai sumber kesalahan terbesar berbahasa kedua itu ternyata hanya menjadi faktor penyebab yang kecil saja, yakni kira-kira 13 persen; sedangkan selebihnya adalah sumber dari sistem bahasa kedua itu sendiri (Dulay, 1982).

Kesalahan-kesalahan yang sering terjadi karena transfer intralingual itu di antaranya sebagai berikut.

Penghilangan Morfem-morfem Gramatikal

Termasuk ke dalam morfem gramatikal yang sering dihilangkan ialah:

(1) Penghilangan awalan me- dan her- dalam bentuk-bentuk bahasa Indonesia.
Contoh:

Saya suka nonton sepak bola. Kakak saya kuliah di FKIP. Sekarang ia tidak kerja lagi. Kalau demikian, ia tidak jalan. Presiden resrnikan pabrik baru.

Bentuk-bentuk nonton, kuliah, kerja, jalan, resrnikan merupakan bentuk yang kehilangan morfem gramatikal, yakni kehilangan awalan me- pada nonton, resrnikan dan kehilangan awalan ber- pada bentuk kuliah, kerja, jalan. Seharusnya bentuk-bentuk itu menjadi menonton, berkuliah, bekerja, berjalan, meresmikan.

(2) Penghilangan akhiran -kan.

Contoh:

Saya mengajar bahasa Indonesia.

Orang itu paling suka memberi nasihat.

Saya tidak biasa memberi keterangan semacam itu.

Ada penghilangan akhiran -kan pada bentuk mengajar dan memberi pada contoh-contoh di atas. Seharusnya bentuknya adalah mengajarkan bahasa Indonesia, memberikan nasihat, dan memberikan keterangan.

(3) Penghilangan partikel.

Sesuai pendapat saya, hal itu dapat diterima. la pergi Surabaya.

Bapak ada rumah.

Ada partikel yang dihilangkan pada contoh di atas, yakni partikel dengan, ke, dan di pada bentuk sesuai pendapat, pergi Surabaya, dan ada rumah. Seharusnya bentuk tersebut adalah sesuai dengan pendapat, pergi ke Surabaya, dan ada di rumah.

Penandaan Ganda atau Penggunaan Unsur Secara Berlebihan Termasuk ke dalam bentuk ini di antaranya ialah:

(1) Penggunaan gaya bahasa tautologi, yakni penggunaan kata yang sama atau mirip maknanya secara bersamaan. Contoh:

Jumlah orang yang hadir berjumlah 30 orang. Demi untuk pacarnya ia rela berkorban harta dan jiwa. Agar supaya berhasil ia bekerja keras. Pancasila adalah merupakan dasar negara. Sejak dari kecil ia sakit-sakitan.

Pada tiap-tiap kalimat di atas terdapat kata yang mempunyai makna yang sama, yakni:

berjumlah untuk

Selayaknya penutur memilih satu bentuk untuk tiap-tiap kalimat. Jadi, kalimat tersebut akan menjadi benar apabila dibenahi menjadi seperti .ini. Jumlah orang yang hadir 30 orang. Yang hadir berjumlah 30 orang. Demi pacarnya, ia rela berkorban harta dan jiwa. Untuk pacarnya, ia rela berkorban harta dan jiwa. Agar berhasil, ia bekerja keras. Supaya berhasil, ia bekerja keras. Pancasila merupakan dasar negara. Pancasila adalah dasar negara. Sejak kecil ia sakit-sakitan. Dari kecil ia sakit-sakitan.

(2) Penggunaan gaya bahasa pleonasme Contoh: la naik ke atas. All sedang turun ke bawah. Murid yang rajin itu disuruh gurunya maju ke depan.

Kata naik sudah mengandung pengertian ‘ke atas’. Demikian juga turun, maju sudah mengandung pengertian ‘ke bawah’ dan ‘ke depan’. Oleh sebab itu, penggunaan kata ke atas, ke bawah, ke depan tidak diperlukan lagi. Kalimat itu akan menjadi baku bila dibenahi sebagai berikut. la naik. la ke atas. AH sedang turun. Ali sedang ke bawah.

Anak yang rajin itu disuruh gurunya maju. Anak yang rajin itu disuruh gurunya ke depan.

(3) Penggunaan kata dari dan daripada untuk menyatakan kepunyaan Contoh:

Ceramah daripada presiden kita menarik perhatian daripada anggota DPR. Undangan dari rektornya sangat diperhatikannya. Hasil daripada panen petani berlimpah ruah.

Bentuk genitif atau frase kepunyaan dalam bahasa Indonesia tidak perlu menggunakan bentuk daripada atau dari. Jadi, sebaiknya kalimat di atas dibenahi menjadi seperti ini. Ceramah presiden kita menarik perhatian anggota DPR.

Undangan rektornya sangat diperhatikannya. Hasil panen petani berlimpah ruah.

Kesalahan Analogi atau Generalisasi yang Berlebihan

Contoh:

la yang melola perusahaan itu sekarang.

Kita harus mengkikis habis racun-racun komunisme



Bentuk melola dan mengkikis merupakan bentuk yang salah karena analog! yang keliru. Bentuk kelola yang merupakan bentuk dasar diduga oleh pembelajar sebagai bentuk turunan yang berasal dari bentuk lola yang mendapatkan awalan ke-, seperti bentuk lain, yakni kekasih, ketua, kehendak yang memang berasal dari tua, kasih, dan hendak yang dapat dibentuk menjadi dituakan, dikasihi, hendaknya. Dengan menganalogikan bentuk-bentuk tersebut lahirlah bentuk melola. Demikian juga bentuk mengkikis merupakan analogi yang salah dari bentuk mengkaji. Jika dari kaji dapat dibentuk mengkaji, mengapa kikis tidak dapat dijadidkan mengkikis? Begitulah pola pikir pembelajar bahasa dan terjadilah kesalahan yang disebut analogi yang keliru atau generalisasi yang berlebihan.

Kesalahan Menyusun Bentuk Dalam Sebuah Konstruksi

Contoh:

la yang harus mempertanggungkan jawab pekerjaan itu.

Masalah kemacetan kredit Bimas saya ingin laporkan kepada Bapak.

Tugas itu Saudara dapat kerjakan setiap saat.

Adat-istiadat daerah kita harus perkenalkan kepada bangsa-bangsa di luar negeri

untuk menarik minat wisatawan mancanegara.

Ini malam filmnya bagus sekali.

Seminar itu diselenggarakan di Surabaya Hotel

Bentuk mempertanggungkan jawab merupakan bentuk yang salah. Jika kata majemuk mendapatkan awalan dan akhiran, maka awalan dan akhiran itu akan mempersenyawakan unsur-unsurnya. Oleh sebab itu, bentuk yang benar ialah mempertanggungjawabkan.

Kalimat yang dalam bentuk pasif persona, yakni bentuk pasif yang pelakunya kata ganti orang, urutan predikatnya adalah aspek + agen + verba (keterangan + pelaku – kata kerja). Jadi, bentuk saya ingin laporkan, Saudara dapat kerjakan, kita harus perkenalkan seharusnya diubah menjadi ingin saya laporkan, dapat Saudara kerjakan, harus kita perkenalkan.

Frase bahasa Indonesia berkaidah DM, yakni diterangkan-menerangkan. Bentuk yang diterangkan mendahului bentuk yang menerangkan. Jadi, bentuk ini malam, Surabaya Hotel tidak selaras dengan kaidah DM dan harus diubah menjadi malam ini dan Hotel Surabaya

No comments:

Post a Comment